Minggu, 27 September 2009

Ta’aruf


Istilah ta’aruf barangkali saat ini sudah tidak begitu asing ditelinga masyarakat Indonesia. Sebelumnya istiah ini mungkin hanya dapat didengar melalui pengajian-pengajian di masjid, sekolah, madrasah, dan lainnya. Tapi kini istilah ta’aruf bahkan dapat didengar di televisi ataupun di bioskop film. Tidak lain adalah saat momen awal munculnya sinetron-sinetron dan film-film yang islami dengan diproklamatori oleh munculnya film Ayat-Ayat Cinta.


Namun pemahaman istilah ta’aruf perlulah kita maknai secara benar. Islam merupakan ad-din yang mencakupi semua sistem kehidupan di alam semeseta, termasuk hubungan sosial bermasyarakat manusia (muamalah). Islam sebagai sebuah agama fitrah, yakni ajaran, perintah dan larangan yang menjadi tuntunannya sesuai dengan fitrah manusia. Misalnya, dalam ibadah puasa, yakni tuntunan Islam untuk berpuasa dengan ketentuan waktu mulai terbit fajar hingga terbenam matahari (sehari penuh). Tidak dibolehkan di dalam Islam melebihi ketentuan waktu tersebut, misalnya berpuasa tiga hari berturut-turut tanpa berbuka dan sahur karena tidak sesuai dengan fitrah manusia, salah satunya yakni keadaan fisik dan mentalnya yang tidak mampu menahan lapar dalam jangka waktu yang lebih lama mislanya pada contoh di atas dengan puasa tiga hari tanpa buka dan sahur.

Dalam konteks hubungan muamalah pun demikian. Tulisan ini sejatinya berusaha meluruskan pemahaman kita mengenai kata ta’aruf. Karena, ketika kita saksikan film Ayat-Ayat Cinta ternyata istilah ini sungguh sangat tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Saat seseorang dikenai kewajiban untuk menikah karena telah mencapai kecukupan umur dan kemampuan lainnya, maka Islam mengatur bagaimana mencari pasangan hidupnya dengan suatu proses yang dinamakan ta’aruf.

Baiklah kita mengetahui ta’aruf ini dari contoh Rasulullah SAW. Dengan pengertian umum, ta’aruf bermakna mengenal orang lain sebagai bentuk hubungan silaturahim. Mengenal ini bukan hanya terbatas pada mengenal nama saja. Bahkan Rasulullah SAW dapat mengenal sahabat-sahabatnya (sebagaimana hadits dan atsar sahabi yang berkenaan dengan ini) dengan hanya mendengar suara langkah kaki sahabatnya sehingga suatu waktu beliau berujar pada sahabat-sahabatnya, Si fulan sedang menuju kemari dia sedang berjalan ke sini. Dengan ta’aruf yang demikian Rasulullah SAW mengenal para sahabatnya.

Ketika kita membahas ta’aruf dalam film yang kita sebutkan tadi, maka pengertian ta’aruf disini adalah dalam konteks mengenal lawan jenis dengan tujuan untuk melangsukngkan pernikahan. Kita pun mungkin sudah sering kita mendengar contoh dalam kehidupan Rasulullah SAW sendiri yakni saat proses pernikahannya dengan Khodijah. Tidak cukup hanya mengenal nama, Khodijah bertanya kepribadian Muhammad ketika itu, sikap, cara, kejujuran beliau dalam berdagang yang disaksikan utusan dagang bersama beliau, dan lainnya. Dari perkenalan dan kepahaman sang Khodijah kepada Muhammad inilah kemudian terjadi lamaran yang akhirnya di setujui oleh kedua belah pihak.

Nah bagaimana dengan film Ayat-Ayat Cinta ? Ada distorsi yakni tidak sejalannya jalan cerita yang ada di dalam tulisan di novelnya dengan film yang ditampilkan. Dan distorsi / kesenjangan ini jauh sangat memutar arti dari ta’aruf sendiri. Action yang paling nyata ketika kita saksikan yakni ketika sang tokoh “Fahri” dijebloskan di dalam penjara karena dituduh melakukan perbuatan asusila. Dimana sang istri yakni tokoh Aisya begitu marah dan bergejolak hatinya, karena merasa ditipu oleh suaminya, karena merasa bahwa dia salah memilih suaminya atau tidak mengenal suaminya dengan baik. Dia marah dan bertanya-tanya pada orang-orang kenalan suaminya tentang siapa suaminya sebenarnya. Walaupun selanjutnya kebimbangannya itu mulai sirna dengan penjelasan sang ibunda Fahri.

Dengan cuplikan seperti itu maka masyarakat awam akan langsung men’judge’ atau memvonis, nah tuh, begini jadinya kalo nikah islami yang tanpa didahului proses pacaran? Dan menjudge ini dikarenakan kedua belah pihak tidak saling mengenal satu sama lain. Pemahaman inilah yang salah. Dan kita katakan tidak benar. Bahwa perlu diketahui bahwa sejatinya kita kembali kepada pengertian sebelumnya mengenai ta’aruf, bahwa ta’aruf itu bermakna mengenal, mengenal dengan paham, tidak hanya nama saja, tapi juga kepribadian, sosok orang, dan sebagainya. Dan cuplikan action yang ada di film itu sejatinya tidak pernah ada dalam novelnya. Awalnya saya kira kesalahan pemahaman ini berasal dari sang penulis, kang abik Habiburrahman El Shirazi sang penulis. Tapi ternyata tidak. Dan kata seorang teman saya pun mengatakan bahwa si penulis pun kecewa pada beberapa adegan film yang mengangkat tema cerita dari novelnya.

Yang benar adalah ketika proses akan menikah itu, sang tokoh, yakni Aisya berusaha mengenal tokoh suaminya itu dengan bertanya pada lingkungan di sekitar suaminya, bertanya pada teman2 calon suaminya sesama mahasiswa indonesia, dan lainnya. Sampailah pada kesimpulan bahwa ia mengenal sosok calon suaminya dengan benar dan dengan bulat hati memutuskan untuk melamar dan menikah. Mengenai proses pertemuan keluarga kedua mempelai dan kemudian kedua mempelai dipersilakan untuk memandang calon pasangannya, atau bahasa santrinya disebut nazhor (melihat), itu benar. Tapi perlu dipahami bahwa itu adalah salah sau bagian dari proses ta’aruf. Tidak seperti yang dicitrakan di dalam film bagaimana nazhor itu satu-satunya proses ta’aruf itu tidak benar. Sehingga menyebabkan si suami dan si istri tidak akan pernah merasa bahwa ia tidak mengenal seluk beluk suaminya dengan dalam. Action Aisya merasa guncang hatinya ketika suaminya dituduh berbuat asusila itu adalah sebuah adegan tambahan yang tidak ada di dalam novel ayat-ayat cinta yang sudah tiga kali saya baca. Dan parah nya action itulah yang memelintir atau menjungkirbalikkan pemahaman makna ta’aruf.

Bagaimana dengan pacaran?

Maka suatu waktu seorang teman bertanya apakah pacaran itu baik / benar, karena saat ini beliau ini sedang pacaran?

Untuk menjawab pertanyaan itu saya kembalikan bertanya kepada teman saya yang bertanya ini, coba jelaskan pengetian pacaran?

Bentuk atau cara mengenal seseorang, dalam hal ini mengenal lawan jenis. Apakah cukup pengertian itu? Bagaimana pemaknaan istilah pacaran ini dalam masyarakat sekarang ini, anak-anak muda sekarang ini? Coba kita perhatikan di lingkungan di sekitar kita. Bagaimana seorang dianggap pacar? Mudahnya dapat dilihat yakni biasa dipegang, dipeluk, dicium. Itulah pengertian pacaran sekarang ini. Bahkan terkadang ada yang lebih dari itu. Na’udzubillahi min dzalik. Nah dengan melihat fenomena makna pacaran zaman sekarang seperti itu tentu nya kita dapat melihat sendiri bahwa itu adalah perbuatan yang salah.

Saya mencontohkan istilah pacaran zamannya bapak saya dulu, Paklek saya dulu, Om saya dulu. Pacaran zaman itu dimaknai sebagai proses menuju pernikahan. Artinya bahwa ditujukan serius untuk menuju pernikahan. Kedua, tata cara bagaimana misalnya bertemu tanpa berdua-duaan saja. Zaman saya masih SD adalah menjadi pendamping setia Om saya yang menemui calon istrinya. Disinilah kemudian kalo kita bandingkan tentu istilah pacaran pada zaman itu bukanlah istilah yang selama ini ada dalam pergaulan bebas anak-anak muda sekarang ini. Tidak. Bahwa pada waktu proses perkenalan ini benar-benar menjaga tuntunan ajaran Islam. Generasi ayah-ayah kita, ibu-ibu kita yang melahirkan kita sekarang apa ini dengan baik. Bagaimana jadinya generasi ke depan yang lahir dari generasi kita yang lebih akrab dengan pacaran pergaulan bebas? Na’udzubillah min dzalik.

Kembali kepada permasalahan ta’aruf, ketika bertukar pikiran dengan teman di asrama pondok pesantren, ternyata bahwa salah satu topik ta’aruf ini pernah menjadi pembahasan dalam tesis S2 di Psikologi UGM. Dengan mengambil komunitas ‘anak-anak masjid’ penelitian ini mengungkap bagaimana proses ta’aruf dapat menjadi landasan menuju jenjang pernikahan. Beberapa fenomena yang juga mudah kita lihat sendiri yakni: ketika seseorang diperkenalkan oleh orang lain kepada calon pasangannya, yakni belum pernah kenal sama sekali. Maka kemudian ada proses-proses yang ditujukan untuk bagaimana keduanya ta’aruf, kenal dengan baik dan paham dengan sosok calonnya. Apa yang kemudian disebut ‘proposal’. Yah kedengaran aneh memang. Tapi itu nyata dan bertujuan mengenal lebih tentang calonnya. Maka disertakan lah di dalam ‘proposal’ itu, mulai dari nama, prestasi, makanan kesukaan, kebiasaan baik, kebiasaan buruk, riwayat sakit, dan hal-hal detil sehingga jelas oleh calon pasangannya.

Suatu waktu pula kamera digital saya pernah dipinjam seorang teman. Dengan pesan, bahwa kamera ini akan sangat memabantu teman saya yang sedang membutuhkan. Ternyata,, kamera dipakai buat motret temannya yang ingin menikah kemudian disertakan dalam ‘proposal’-nya yang akan diberikan kapada calonnya.

Yang ingin saya sampaikan bahwa ta’aruf adalah sebuah proses yang dituntunkan dalam Islam. Sebagaimana tuntunan Rasul untuk mengenal seseorang secara dekat, baik teman atau sahabat, apalagi ta’aruf untuk pasangan hidup, mengenalnya dengan paham mengenai sosoknya, kepribadiannya, keluarganya, dan sebagainya. Proses ini tentunya berbeda dengan pacaran yang selama ini lebih akrab dikenal di masyarakat kita. Karena pengertian pacaran saat ini identik dengan pergaulan bebas. Tata cara ta’aruf pun boleh berbagai macam bentuk caranya. Fenomena ‘proposal’ hanya satu contoh saja. Memperkenalkan diri dengan orang tua, atau bertanya pada lingkungan sekitarnya juga merupakan perkara yang baik, asal jangan keluar dari tuntunan Islam.

Bukannya bermaksud merubah hak cipta (seperti kejadian di film Ayat-Ayat Cinta), tapi saya ingin menambahkan sedikit. Saya hanya ingin menyampaikan, berhati-hatilah dengan namanya Zina. Zina yang saya maksud bukan hanya melakukan hubungan intim diluar nikah, tapi ada beberapa jenis Zina lainnya. Zina yg dimaksud disini adalah segala sesuatu yg bisa menimbulkan syahwat (nafsu). Misalnya kita berpadangan tetapi muncul syahwat, maka itu udah dinamakan Zina Mata. Karena itu sangatlah dianjurkan bagi para akhwat agar memakai jilbab dan bukan jilbab asal-asalan. Misalnya tidak ketat, menutupi aurat dan jilbabnya hendaklah yg panjang hingga ke perut. Selain itu jika ingin bersalaman dengan lawan jenis, dianjurkan utk tidak bersentuhan. Dan masih banyak lagi tata cara bergaul dengan lawan jenis.
Jadi sungguh tidak sesuai makna pacaran yg kita kenal sekarang. Banyak pasangan yg jalan berduaan sambil pegangan tangan, duduk berdua di tempat yg sepi, naik montor boncengan dengan yg bukan muhrimnya, dll. Bahkan ciuman pun adalah hal yg wajar.
Maka berhati-hatilah dengan apa yg dinamakan Zina ini. Semoga kita selalu diberi pentunjuk agar terhindar dari perbuatan yg membawa kita ke arah maksiat, amin.
Ta’aruf adalah Proses saling mengenal antara seseorang dengan orang lain. Dengan maksud untuk bisa saling mengerti dan memahami. Sedangkan dalam Konteks Pernikahan, maka ta’aruf di maknai sebagai “Aktivitas saling mengenal, mengerti dan memahami untuk tujuan mememinang atau menikahi”.

Ta’aruf di lakukan ketika laki-laki benar-benar telah siap untuk menikah sehingga, dalam proses ta’arufnya tidak akan terjadi hal yang sia-sia. Oleh karena itu bila serang laki-laki belum siap betul untuk menikah, maka sebaiknya dia terlebih dahulu mempersiapkan diri dulu.

Bila kita cermati ayat atau hadist tentang pernikahan, maka kita akan menemukan bahwa kita di anjurkan untuk menikah dengan orang yang kita sukai. Dalam hal ini, suka menjadi “Hal” atau Syarat untuk menikah. Nabi Muhammad SAW bersabda dalam sebuah hadist yang di riwayatkan oleh imam Ahmad dengan sanad hasan dari Jabir Bin Abdillah Al-Anshari yang menuturkan bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda “Jika salah seorang diantara kalian hendak melamar seorang wanita dan mampu melihat (tanpa sepengetahuan wanita tersebut), bagian dan anggota tubuh wanita tersbut, sehingga bisa menodorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah”. Juga hadits yang di keluarkan oleh imam Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa’ad As-Saidi. Dia menceritakan bahwa ada seorang wanita yang mendatangi Rasulullah SAW dan mengatakan “Wahai Rasulullah aku datang untuk menghadiahkan diriku padamu” Rasulullah SAW lantas memandangnya dari atas sampai bawah, setelah itu menundukkan kepala. Allah SWT Berfirman “Tidak Halal bagi kamu mengawini perempuan-perempuan seudah itu, tidak boleh pula mengganti mereka dengan istri-istri yang lain, meskipun kecantikannya menarik hatimu….”(Al-Ahzab:53). Juga FirmanNya dalam surat Annisa ayat 3 “Maka nikahilah oleh kalian wanita yang kalian sukai…”. Dari penjelasan ini jelas bahwa Ta’aruf berfungsi untuk mengetahuihal-hal yang bisa membuat kita tertarik/suka dan yakin akan menikahi orang tersebut.

Ada beberapa pertanyaan yang sering di ajukan kepada kami berkatan dengan aktivitas Ta’aruf ini, Berikut adalah petikan pertanyaan dan jawabannya:

1.

Apakah Boleh pada saat Ta’aruf saling mengirim sms, saling menelepon?

Menelepon ataupun saling berkirim sms, hukumnya adalah mubah selama aktovitas tersebut tidak mengajak kepada kemungkaran atau kefasikan. Walaupun dari sering menelepon atau berkirim sms bisa membuat kita rindu dan sering memimpikan atau membayangkan dia. Allah SWT berfirman “Tidaklah dosa bagimu, jika……..kamu pelihara dalam Qalbumu, Allah maha mengetahui bahwa kamu teringat-ingat kepada mereka” (Al-Baqarah:235).

1.

Bolehkah ketika Ta’aruf kita berkunjung kerumah Wanita atau janjian untuk bertemu di suatu tempat?

Syara’ Telah membolehkan kita untuk berbicara dengan wanita yang bukan mahram selama itu dilakukan di tempat terbuka atau umum. Sehingga memungkinkan orang lain untuk mendengar atau mengawasinya. Hafidz Ibnu Hajar Asqalani mengatakan “Nabi tidak berkhalwat dengan non mahram kecuali dalam keadaan mereka tidak tertutup dari pandangan mata orang lain dan suara mereka berdua dapat di dengar orang lain, walaupun orang tersebut tidak mendengarnya dengan jelas apa yang merea bicarakan”( Fathul Barr Syarah Shahih Bukhari Juz II Halaman 246-247).

Berkunjung kerumah wanita yang kita Ta’aruf adalah boleh selama tidak berkhalwat (berdua-duaan). Demikian juga dengan aktivitas janjia untuk bertemu di suatu tempat hal ini juga boleh sebagaimana hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari “Ada seorang wanita memiliki persoalan yang mengganjal pikirannya dia (menemui Rasulullah Saw) lalu bertanya wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku ada perlu denganmu, Nabi SAW menjawab Wahai Ummu Fulan! Pilihlah Jalan mana yang kamu inginkan sehingga aku bisa menemui keperluanmu? Kemudian beliau pergi bersama wanita tersebut melewati suatu jalan samapai keperluannya selesai”. Jadi dalam kasus ini baik itu berkunjung atau janjian untuk bertemu harus memenuhi syarat yaitu tidak berkhalwat.

Khithbah (Meminang) dan Melihat Wanita yang di Pinang

Setelah seseorang mendapat kemantapan dalam menentukan wanita pilihannya, maka hendaklah segera meminangnya (Mengkhitbah). Laki-laki tersebut harus menghadap orang tua/wali dari wanita pilihannya itu untuk menyampaikan kehendak hatinya, yaitu meminta agar ia direstui untuk menikahi anaknya. Khitbah Boleh langsung disampaikan kepada wanitanya, atau atau kepada walinya. Tetapi saya disini berpendapat bahwa khitbah harus disampaikan kepada walinya, karena wanita yang yang belum menikah masih berada dalam pengawasan dan perlindungan walinya. wanita yang boleh di pinang adalah wanita yang memenuhi dua syarat sebagai berikut, yaitu:

1.

Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan syari yang menyebabkan laki-laki dilarang memperisterinya saat itu. Seperti karena suatu hal sehingga wanita tersebut haram dinikahi selamanya (masih mahram) atau sementara (masa iddah/ditinggal suami atau ipar dan lain-lain).
2.

Belum dipinang orang lain secara sah, sebab Islam mengharamkan seseorang meminang pinangan saudaranya. Dari Uqbah bin Amir radiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Orang mukmin adalah saudara orang mukmin yang lain. Maka tidak halal bagi seorang mukmin menjual barang yang sudah dibeli saudaranya, dan tidak halal pula meminang wanita yang sudah dipinang saudaranya, sehingga saudaranya itu meninggalkannya.“(HR. Jamaah). Apabila seorang wanita memiliki dua syarat ini maka haram bagi seorang laki-laki untuk meminangnya.

Islam adalah agama yang hanif yang mensyariatkan pelamar untuk melihat wanita yang dilamar dan mensyariatkan wanita yang dilamar untuk melihat laki-laki yang meminangnya, agar masing- masing pihak benar-benar mendapatkan kejelasan tatkala menjatuhkan pilihan pasangan hidupnya. Dari Jabir radliyallahu anhu, bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: “Apabila salah seorang di antara kalian meminang seorang wanita, maka apabila ia mampu hendaknya ia melihat kepada apa yang mendorongnya untuk menikahinya.” Jabir berkata: “Maka aku meminang seorang budak wanita dan aku bersembunyi untuk bisa melihat apa yang mendorong aku untuk menikahinya. Lalu aku menikahinya.“(HR.Abu Daud).

Walimah Urs dan Teknisnya

Walimatul Urus hukumnya Sunnah Muakkad. Dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaih wasallam kepada Abdurrahman bin Auf: “….Adakanlah walimah sekalipun hanya dengan seekor kambing.“(HR.Abu Dawud) Memenuhi undangan walimah hukumnya Fardhu Kifayah. “Jika kalian diundang walimah, sambutlah undangan itu (baik undangan perkawinan atau yang lainnya). Barangsiapa yang tidak menyambut undangan itu berarti ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.“(HR. Bukhari 9/198, Muslim 4/152, dan Ahmad no. 6337 dan Al-Baihaqi 7/262 dari Ibnu Umar). Akan tetapi tidak wajib menghadiri undangan yang didalamnya terdapat maksiat kepada Allah Taala dan Rasul-Nya, kecuali dengan maksud akan merubah atau menggagalkannya. Jika telah terlanjur hadir, tetapi tidak mampu untuk merubah atau menggagalkannya maka wajib meninggalkan tempat itu. Dari Ali berkata: “Saya membuat makanan maka aku mengundang Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dan beliaupun datang. Beliau masuk dan melihat tirai yang bergambar maka beliau keluar dan bersabda:”Sesungguhnya malaikat tidak masuk suatu rumah yang di dalamnya ada gambar.“(HR.An-Nasai dan Ibnu Majah)

Adapun yang harus diperhatikan ketika mengadakan walimah adalah sebagai berikut:

1.

Sunnah mengadakan Walimatul Urs setelah kedua mempelai bercampur. sebagaimana hadist yang di keluarkan oleh Imam Bukhari dari Annas tentang pernikahan Nabi SAW dengan Fathimah Binti Jahsy, pada pagi harinya Nabi SAW mengundang para sahabat dan merekapun mendapatkan makanan.
2.

Memisahkan tempat tamu laki-laki dan wanita. Pemisahan ini mutlak harus dilakukan karena Islam telah melarang kita untuk ber Ikhtilat (campur Baur laki-laki dan perempuan dalam suatu tempat). Pemisahan yang di lakukan adalah pemisahan yang sempurna yaitu dengan menggunakan pembatas yang tinggi (kurang lebih 2 m) agar tamu laki-laki tidak bisa memandang tamu perempuan demikian juga sebaliknya. Bila tidak memungkinkan maka syara’ membolehkan menggunakan pembatas yang sederhana seperti dengan tali atau dengan hiasan bunga, tetapi hal ini hanya bisa di terapkan apabila semua tamu sudah faham tentang aturan Syara’, dimana mereka (para tamu wanita) tidak bertabarruj (menampakkan Perhiasan dan kecantikan), menutup aurat dengan sempurna, serta tidak memakai wewangian. Bila tidak demikian maka walimahan tersebut menjadi perkara yang di haramkan. pemisihan ini juga berlaku bagi kedua keluarga mempelai. sehingga keluarga mempelai laki-laki dan keluarga mempelai perempuan tidak boleh saling bercampur baur kecuali mereka yang terkategori Mahram.
3.

Memepelai wanita boleh menemui tamu laki-laki atau perempuan asal tidak beratabarruj, dan mengenakan wewangian berdasarkan Hadist yang di keluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim “Ketika Abu Asied menikah, ia mengundang Rasulullah dan para sahabat,..Ummu Aseid mencuci, menghidangkan kurma dengan nampan dari batu di malam hari. Setelah Nabi SAW selesai makan, Ummu Asied menghidangkan cuci mulut berupa air kurma sebagai suguhan istimewa untuk banginda Nabi. Demikian Istri Abu Asied melayni tamu undangan dimalam itu padahal ia adalah mempelai”. Demikian juga sebaliknya mempelai Pria boleh menemuai tamu wanita, dimana tamu wanita tersebut tidak mempertontonkan auratnya dan tidak bertabarruj.
4.

Hendaklah mengundang orang-orang shalih, baik miskin atau kaya sesuai dengan wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: “Jangan bersahabat kecuali dengan seorang mukmin dan jangan makan makananmu kecuali seorang yang bertaqwa.”(HR.Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al-Hakim dari Abi Said Al-Khudri, hasan, lihat Shahih Al-JamiusShaghir 7341 dan Misykah Al-Mashabih 5018).
5.

Sedapat mungkin memotong seekor kambing atau lebih, sesuai dengan taraf ekonominya. Keterangan ini terdapat dalam hadits Al-Bukhari, An-Nasai, Al-Baihaqi dan lain-lain dari Anas radliallahu `anhu. Bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf: “Adakanlah walimah meski hanya dengan seekor kambing.” (HR. Abu Dawud). Akan tetapi dari beberapa hadits yang shahih menunjukkan dibolehkan pula mengadakan walimah tanpa daging.
6.

Dibolehkan pula memeriahkan perkawinan dengan nyanyi-nyanyian dan menabuh rebana dengan syarat lagu yang dinyanyikan tidak bertentangan dengan ahklaq seperti yang diriwayatkan dalam hadits berikut ini: Dari Aisyah bahwasanya ia mengarak seorang wanita menemui seorang pria Anshar. Nabi shallallahu`alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Aisyah, mengapa kalian tidak menyuguhkan hiburan? Karena kaum Anshar senang pada hiburan.” (HR. Bukhari 9/184-185 dan Al-Hakim 2/184, dan Al-Baihaqi 7/288).
7.

Tuntunan Islam bagi para tamu undangan yang datang ke pesta perkawinan hendaknya mendoakan kedua mempelai dan keluarganya.Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaih wa sallam jika mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan doa: “Mudah-mudahan Allah memberimu berkah. Mudah-mudahahan Allah mencurahkan keberkahan kepadamu dan mudah – mudahan Dia mempersatukan kalian berdua dalam kebajikan“(HR.Said bin Manshur di dalam Sunannya 522, begitu pula Abu Dawud 1/332 dan At-Tirmidzi 2/171). Adapun ucapan seperti “Semoga mempelai dapat murah rezeki dan banyak anak” sebagai ucapan selamat kepada kedua mempelai adalah ucapan yang dilarang oleh Islam, karena hal itu adalah ucapan yang sering dikatakan oleh Kaum jahiliyyah.Dari Hasan bahwa Aqil bin Abi Thalib menikah dengan seorang wanita dari Jisyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyyah: “Bir rafa wal banin.” Aqil bin Abi Thalib mencegahnya, katanya: “Jangan kalian mengatakan demikian karena Rasulullah melarangnya.” Para tamu bertanya: ” Lalu apa yang harus kami ucapkan ya Aba Zaid?” Aqil menjelaskan, ucapkanlah: “Mudah- mudahan Allah memberi kalian berkah dan melimpahkan atas kalian keberkahan.” Seperti itulah kami diperintahkan. (HR. Ibnu Abi Syaibah 7/52/2, An-Nasai 2/91, Ibnu Majah 1/589)

Demikianlah tata cara pernikahan yang disyariatkan oleh Islam. Semoga Allah Taala memberikan kelapangan bagi orang-orang yang ikhlas untuk mengikuti petunjuk yang benar dalam memulai hidup berumah tangga dengan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahualaih wa sallam. Mudah-mudahan mereka digolongkan ke dalam hamba-hamba yang dimaksudkan dalam firman-Nya: “Yaitu orang-orang yang berdoa: Ya Rabb kami, anugerahkan kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami).Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Al-Furqan:74). AllahuA’laam

5 komentar:

  1. Assalamualaikum... boleh minta contoh proposal nikah buat akhwat ngga?
    kirim ke email al_munawarohftip05@yahoo.com

    Jazakallah...

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum wr wb...saya izin copy paste,smoga bisa bermanfaat untuk saudara - saudara kita yang belum tahu tentang ini,dan semoga Allah membalas segala kebaikan Anda,sukron jazakuallah

    BalasHapus
  3. silakan aja! toek akhwat mungkin tinggal ganti subjeknya ja x!

    BalasHapus
  4. Assalumalaikum Wr Wb.
    Bisa minta contoh proposal nikah, bisa tolong dikirimkan ke email "g_rdhan@yahoo.com"
    Syukron.

    BalasHapus

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themeswww.freethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree CSS Templates Dreamweaver